HOME   PUISI   JOURNAL   PHOTOS   THOUGHTS

Diari Malam Minggu

Azan berkumandang pertanda masuknya waktu maghrib. Bapak-bapak dan pria lainnya sudah beransur-ansur menuju mushalla. Mushalla yang lebih ramai jemaah daripada biasa karna kehadiran para jemputan majlis do'a selamat sempena pernikahan sepupuku. Ibu-ibu masih melanjutkan kerja mereka di ruang memasak dan mengurus hidangan, saling bergantian menunaikan solat maghrib.

"Masih ujud tradisi gotong-royong di kota ini”, getus hatiku setelah menyaksi ramainya toghellanyang datang membantu. Kalau soal rewang oreng bhebian tak kan pernah tinggalkan tradisi yang satu ini. Tak kira saudara jauh atau dekat, pasti mereka datang untuk membantu.

”Solat di kamarku aja yuk..”, ajak Sila, adik perempuan si pengantin. Aku membuntutinya ke tingkat empat pangsapuri tempat tinggalnya. Ternyata ramai sekali yang menunggu lif untuk ke tingkat atas. Justru, aku menawarkan diri untuk naik tangga saja. Sepanjang menyusuri tangga ke tingkat empat, aku menahan nafas, mencoba untuk tidak menghidu bau yang kurang menyenangkan di situ. Aku sudah sangat maklum, selenggaraan pangsapuri di sekitar ini memang kurang sempurna. Tapi, masyarakat di sini tidak mampu memilih untuk punya kualiti hidup lebih baik. ”Sedangkan ulat bisa hidup di atas batu, inikan lagi manusia yang dikurniai akal”, jelas adik lelaki si pengantin setelah sama-sama diskusi keberadaan tempat tinggalnya. Sedikit keinsafan menyusup kalbuku mendengar luahannya itu.

Majlis nikah yang kuhadiri kali ini sedikit berlainan. Aku sendiri lebih aktif membantu di ruang dapur, tak seperti biasanya, cuma datang untuk makan. Maklumlah pernikahan sepupu sendiri, inginku sama-sama bergabung tenaga semampuku. Walaupun sangat sederhana, namun bagiku majlis ini sudah mencapai objektif untuk merapatkan kembali silaturrahim di kalangan saudara-saudara kami. Justru, aku merasa sangat terharu dengan keikhlasan yang mereka pamerkan sepanjang majlis ini berlangsung. Yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing.

”Malam ini kita jadi perawan dapur!”, Sila berseloroh. Kata-katanya kusambut dengan tawa sambil tanganku sibuk mengatur hidangan. Mulanya rasa sedikit janggal karna lama juga aku tidak ikut kumpul-kumpul di ruang masak untuk majlis yang begini. Tapi, justru perawan-perawan dapur ini nanti yang jadi heronya, yang tetap bertahan sampai semua kerja benar-benar tuntas.

Kedengaran di corong, suara lunak alunan berzanji. ”Enak juga suaranya..”, aku memuji dalam hati. Sememangnya oreng bhebian sangat lancar membaca dan mengalunkan lagu berzanji. Orang melayu tempatan juga kagum dengan kebolehan mereka yang satu ini. Bacaan berzanji tidak pernah ditinggalkan dalam setiap majlis selametan, biarpun cuma sempat membaca serangkap pembuka dan penutup saja, tapi tetap tidak ditinggalkan. Namun, tidak semua orang senang dengan tradisi ini. Terutama kalau diadakan kercengan. Ada penduduk setempat yang tidak suka kebisingan dan sangat jengkel dengan bunyi-bunyian di waktu malam. Demi untuk kepentingan bersama, biasanya acara-acara begini diharuskan selesai sebelum jam 11 malam.

Hidangan sudah hampir siap diatur. Tinggal tunggu jemputan siap ashrokalan dan pembacaan do’a. Ibu-ibu pula sudah mulai duduk berkelompok sambil berbual-bual. Maklum saja, kesempatan bertemu seperti ini mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk bertanya kabar dan bercerita kisah hidup masing-masing. ”Tapi awas, jangan dekat!”, aku mengingatkan diriku sendiri seraya tertawa kecil. Aku cukup tau mereka paling suka bertanya soal kawin...hehe.. Tapi kadang tetap tak bisa mengelak.

”Hmm, andai saja kita saling berbesan, kan bagus? Jadi, hubungan saudara tak hilang jauh”, nenek saudaraku yang dulu sangat dekat dengan ibu membuka cerita. ”Kawin sama cucuku saja, mau nak?!”, bahuku diusap lembut sambil bibirnya mengukir senyum. Aku seperti biasa menampakkan barisan gigi yang putih seraya membalas, ”Nenek usah terlalu mikir masalah orang muda... Yang penting, nenek sehat terus dan semangat, ya!”. Aku bingkas bangun meniggalkan kumpulan itu setelah permisi dengan beralasan masih banyak yang perlu dikerjakan.

Malam itu sangat meletihkan. Tenagaku terkuras habis sampailah waktu mencuci piring dan semua alatan. Untung saja ramai yang bantu, karna jemputan yang hadir pun tak kurang banyaknya. Malam itu aku leppang tapi puas, karna malam mingguku terisi dengan satu lagi aktivitas baru, paling tidak, sesuatu yang lain dari rutin harianku. Oreng bhebian, ternyata masih tetap wujud kemuafakatan dan kerjasama yang utuh antara kalian. Semoga ini berkekalan..”, do’a hatiku ikhlas..

 

0 comments: