Half-planned Visit to Bawean Island
Planned or unplanned, the truth is I’ve already visited my homeland, Bawean Island very recently for some emergency purposes. Very very sorry for those people I didn't manage to meet up. The chances given to me were very limited, may Allah grant us better opportunities next time with better condition and better earnings.
One week I spent just like one night of beautiful dream. Till now, I couldn’t believe of a fact that I had experienced such a different world, yet I felt not too hard to adapt with (as how I thought of previously). Well.. at least for a week.. haha. No computer and internet for me, but there are lembu, sawah and gunung for me to be amazed of. No car for me to travel and the road are unbelievably ruined, but ‘keliling kampung’ using motorbike is not less exciting( sakit pinggang je lah hehe). But, NO TRAFFIC JAM BABEH!! I was free from traffic jam for a week… felt like Heaven… hohohohohho!
Sembilan tahun adalah jarak yang cukup lama untuk aku mengingat-ingat kembali peristiwa dan kondisi Bawean yang pernah kukenal dulu. Ada perubahan dan ada juga persamaan. Ada peningkatan dan ada penurunan. Namun, tidak layak untuk aku menilai lebih dari itu, karna sudah cukup lama aku tidak menjadi sebahagian dari keberhasilan ataupun kekurangan yang mereka punyai sekarang.
Lumrah alami, di manapun pasti tidak luput dengan perubahan dengan berjalannya waktu. Yang lebih berharga adalah pelajaran atas semua kejadian, untuk kebutuhan diri sendiri dan untung jika bisa bermanfaat untuk orang lain.
Namun, bila mendengar kisah-kisah magis tentang Bawean, sengaja terlintas dalam benak fikiranku satu julukan lain, "Bawean, The Land of Magic". Mulai dari sejarah terbitnya nama Bawean, hinggalah keberadaan tempat-tempat keramat, sampai sekarang masih membawa ceritera magis dan setia diperturunkan dari generasi ke generasi.
Sudah menjadi lumrah masyarakat desa, mereka memegang kuat ciri-ciri ketimuran, kesopanan pertuturan dan budi bahasa yang tinggi. Walaupun banyak cerita yang kudengar tentang sebahagian anak-anak muda yang tidak mampu menahan pengaruh luar dari merusak budaya, namun masih banyak yang sangat menjaga akhlaqulkarimah yang diterapkan pada mereka sejak usia dini.
Dalam kesibukan melayani saudara dan tetangga yang mampir ke rumah tiap hari, sempat juga aku menziarahi makam Waliyah Zainab di Pangga, pusara kakek dan nenek di Teluk Jati dan Gelam, pusara-pusara di puncak Gunung Pataonan, Gelam. Tapi sayang, tak sempat mengikut ibu menziarah saudara di Tenggen, tempat yang katanya ada Jirat Lanjang (kubur panjang). Kebetulan pada hari itu aku malah sakit, mungkin tidak tahan cuaca panas.
Bawean tika ini sedang musim kemarau, hampir tidak ada hujan sama sekali. Sawah dan dusun berwarna coklat kekuningan tanda tumbuh-tumbuhan sedang mengering. Aku malah sempat melihat kebakaran di kaki Gunung Pataonan, dekat dengan rumah kakakku. Mulanya aku cemas bila api terus menular sangat dekat dengan persawahan dan kandang sapi. Namun kata kakak, ini kejadian rutin setiap kali musim kering. Kaki gunung ini pasti akan terbakar dan membersihkan hamparan daun-daun jati yang sedang mengering.
Kacang jadi tanaman pengganti untuk menyuburkan kembali tanah sementara menunggu musim menanam yang akan datang.
Pekerjaan orang Bawean umumnya adalah petani dan nelayan. Kini, keberhasilan pendidikan telah melahirkan anak2 lokal yang mampu menjawat peran sebagai guru. Guru lokal mendidik anak lokal juga, ini satu ciri yang kuanggap penting dan sangat berharga untuk Bawean.
Hafith, seorang guru di SD Pinang Gunung sempat memberi pandangan secara umum dalam perbualan singkat kami di atas kapal. Dia sangat mendukung perubahan dalam syllabus pelajaran yang lebih memperbanyak praktikal daripada cuma teori total. Sistem pembelajaran satu guru - satu kelas untuk SD, mengharapkan kesanggupan guru untuk merangkum keseluruhan keperluan pendidikan; jasmani dan rohani, untuk satu kelas yang ada di bawah tanggungjawabnya.
Bakar, anak Uwa Zaini yang sempat kami ziarahi rumahnya juga seorang guru. Dia yang mesra dipanggil Bek-Bek, lebih terdedah dengan perkembangan politik dikarnakan keluarganya sendiri telah berkecimpung dalam bidang itu. Dia banyak memberi pandangan tentang keterkaitan antara kepimpinan politik dan tanggungjawabnya mengarahkan sistem pendidikan, khususnya pendidikan di Bawean. Pendidikan terpuruk atau lambat adalah kesan daripada sistem yang tidak stabil dan sering berubah-ubah bila adanya pertukaran pemimpin. Namun, dia akui keadaan sekarang makin membaik dan dia yakin sistem pendidikan akan jauh lebih stabil dalam jangka satu dua tahun lagi.
Jamal, sepupuku yang sedang kuliah juga menjadikan guru sebagai perkerjaan sampingan untuk menampung pembiayaan perkuliahannya. Dia tidak ragu-ragu menyatakan bahawa orang-orang Bawean sekarang lebih sadar tentang kepentingan pendidikan kepada masyarakat. Kesan pendidikan bukan hanya meningkatkan jumlah pejalar di sekolah atau pesantren, tapi masyarakat kini lebih percaya diri untuk menilai setiap arus perubahan yang datang dengan lebih bijak dan berilmu.
Musyayana, atau mesra dipanggil Yana, siswa kelahiran Sangkapura, punya cara sendiri untuk ikut memberi masukan ilmu kepada anak-anak Bawean. Dia punya tiga buah komputer yang lengkap dengan fasilitas printing di rumahnya. Fasilitas ini yang pada awalnya digunakan untuk kebutuhan adik-adik dan saudaranya sendiri, namun kini sudah terdaftar lebih dari 63 orang menggunakan fasilitas itu secara bergantian, dan GRATIS. Aku sedia tau apakah fungsi IT dalam setiap keperluan harian masyarakat. Namun, di Bawean, IT masih di peringkat awal perkembangan. Penataan pendidikan IT harus dijalankan dengan berhikmah karna masyarakat lebih cepat mengambil efek negatif dari efek positifnya, padahal efek positif menjanjikan kelestarian untuk semua hal dalam lingkungan.
I know what and where I’m heading, my dear people, and I’m not sitting still, though this time maybe I'm not doing it the way you like.
I started missing you now, Bawean……………. I’ll be back next year, Insya-Allah!
One week I spent just like one night of beautiful dream. Till now, I couldn’t believe of a fact that I had experienced such a different world, yet I felt not too hard to adapt with (as how I thought of previously). Well.. at least for a week.. haha. No computer and internet for me, but there are lembu, sawah and gunung for me to be amazed of. No car for me to travel and the road are unbelievably ruined, but ‘keliling kampung’ using motorbike is not less exciting( sakit pinggang je lah hehe). But, NO TRAFFIC JAM BABEH!! I was free from traffic jam for a week… felt like Heaven… hohohohohho!
----Some Prologue -----
"Dari mana mbak?", tanya petugas kastam di Juanda Airport. "Dari Bawean, Pak." balasku. "Oh, dari Pulau Putri ya?", tanya dia lagi seakan minta kepastian. "Iya", balasku manis dan singkat seraya berfikir, kenal juga dia sama Bawean, walaupun cuma sebatas nama julukannya Pulau Putri. Itulah saat-saat keberangkatan pulang kami dari Surabaya ke Kuala Lumpur setelah sepekan menjalani hidup sebagaimana layaknya kehidupan orang Bawean asli di situ.Sembilan tahun adalah jarak yang cukup lama untuk aku mengingat-ingat kembali peristiwa dan kondisi Bawean yang pernah kukenal dulu. Ada perubahan dan ada juga persamaan. Ada peningkatan dan ada penurunan. Namun, tidak layak untuk aku menilai lebih dari itu, karna sudah cukup lama aku tidak menjadi sebahagian dari keberhasilan ataupun kekurangan yang mereka punyai sekarang.
Lumrah alami, di manapun pasti tidak luput dengan perubahan dengan berjalannya waktu. Yang lebih berharga adalah pelajaran atas semua kejadian, untuk kebutuhan diri sendiri dan untung jika bisa bermanfaat untuk orang lain.
----Overview ----
"Bawean, the Religious Land" satu gelaran yang menurutku tidak keterlaluan. Pendidikan agama telah dimulai dari anak-anak usia dini hinggalah pendidikan informal pada guru-guru muda yang sedang menjamur dalam sistem persekolahan di Bawean. Sistem pendidikan pesantren pula masih megah dengan jumlah santri yang makin bertambah dari tahun ke tahun. Apa lagi sekarang bulan Ramadhan. Hampir tiap detik setiap pelosok desa tidak pernah sunyi dari suara-suara pengajian, tadarusan, dan lain-lain aktivitas rutin bulan puasa.Namun, bila mendengar kisah-kisah magis tentang Bawean, sengaja terlintas dalam benak fikiranku satu julukan lain, "Bawean, The Land of Magic". Mulai dari sejarah terbitnya nama Bawean, hinggalah keberadaan tempat-tempat keramat, sampai sekarang masih membawa ceritera magis dan setia diperturunkan dari generasi ke generasi.
Sudah menjadi lumrah masyarakat desa, mereka memegang kuat ciri-ciri ketimuran, kesopanan pertuturan dan budi bahasa yang tinggi. Walaupun banyak cerita yang kudengar tentang sebahagian anak-anak muda yang tidak mampu menahan pengaruh luar dari merusak budaya, namun masih banyak yang sangat menjaga akhlaqulkarimah yang diterapkan pada mereka sejak usia dini.
Dalam kesibukan melayani saudara dan tetangga yang mampir ke rumah tiap hari, sempat juga aku menziarahi makam Waliyah Zainab di Pangga, pusara kakek dan nenek di Teluk Jati dan Gelam, pusara-pusara di puncak Gunung Pataonan, Gelam. Tapi sayang, tak sempat mengikut ibu menziarah saudara di Tenggen, tempat yang katanya ada Jirat Lanjang (kubur panjang). Kebetulan pada hari itu aku malah sakit, mungkin tidak tahan cuaca panas.
Bawean tika ini sedang musim kemarau, hampir tidak ada hujan sama sekali. Sawah dan dusun berwarna coklat kekuningan tanda tumbuh-tumbuhan sedang mengering. Aku malah sempat melihat kebakaran di kaki Gunung Pataonan, dekat dengan rumah kakakku. Mulanya aku cemas bila api terus menular sangat dekat dengan persawahan dan kandang sapi. Namun kata kakak, ini kejadian rutin setiap kali musim kering. Kaki gunung ini pasti akan terbakar dan membersihkan hamparan daun-daun jati yang sedang mengering.
Kacang jadi tanaman pengganti untuk menyuburkan kembali tanah sementara menunggu musim menanam yang akan datang.
----Dialogue with the people, Observation and Comparison----
Adalah lebih mudah mendapatkan informasi dari golongan sebaya. Jadi, aku suka melayani beberapa anak muda yang sangat informatif dalam membincangkan isu-isu tentang Bawean. Namun, dikarnakan aku lebih tertarik kepada keberadaan sistem pendidikan, diskusi difokuskan kepada tugas mereka sebagai guru, aktivitas harian anak-anak di sekolah, dan kebajikan yang bersangkutan dengan pendidikan.Pekerjaan orang Bawean umumnya adalah petani dan nelayan. Kini, keberhasilan pendidikan telah melahirkan anak2 lokal yang mampu menjawat peran sebagai guru. Guru lokal mendidik anak lokal juga, ini satu ciri yang kuanggap penting dan sangat berharga untuk Bawean.
Hafith, seorang guru di SD Pinang Gunung sempat memberi pandangan secara umum dalam perbualan singkat kami di atas kapal. Dia sangat mendukung perubahan dalam syllabus pelajaran yang lebih memperbanyak praktikal daripada cuma teori total. Sistem pembelajaran satu guru - satu kelas untuk SD, mengharapkan kesanggupan guru untuk merangkum keseluruhan keperluan pendidikan; jasmani dan rohani, untuk satu kelas yang ada di bawah tanggungjawabnya.
Bakar, anak Uwa Zaini yang sempat kami ziarahi rumahnya juga seorang guru. Dia yang mesra dipanggil Bek-Bek, lebih terdedah dengan perkembangan politik dikarnakan keluarganya sendiri telah berkecimpung dalam bidang itu. Dia banyak memberi pandangan tentang keterkaitan antara kepimpinan politik dan tanggungjawabnya mengarahkan sistem pendidikan, khususnya pendidikan di Bawean. Pendidikan terpuruk atau lambat adalah kesan daripada sistem yang tidak stabil dan sering berubah-ubah bila adanya pertukaran pemimpin. Namun, dia akui keadaan sekarang makin membaik dan dia yakin sistem pendidikan akan jauh lebih stabil dalam jangka satu dua tahun lagi.
Jamal, sepupuku yang sedang kuliah juga menjadikan guru sebagai perkerjaan sampingan untuk menampung pembiayaan perkuliahannya. Dia tidak ragu-ragu menyatakan bahawa orang-orang Bawean sekarang lebih sadar tentang kepentingan pendidikan kepada masyarakat. Kesan pendidikan bukan hanya meningkatkan jumlah pejalar di sekolah atau pesantren, tapi masyarakat kini lebih percaya diri untuk menilai setiap arus perubahan yang datang dengan lebih bijak dan berilmu.
Musyayana, atau mesra dipanggil Yana, siswa kelahiran Sangkapura, punya cara sendiri untuk ikut memberi masukan ilmu kepada anak-anak Bawean. Dia punya tiga buah komputer yang lengkap dengan fasilitas printing di rumahnya. Fasilitas ini yang pada awalnya digunakan untuk kebutuhan adik-adik dan saudaranya sendiri, namun kini sudah terdaftar lebih dari 63 orang menggunakan fasilitas itu secara bergantian, dan GRATIS. Aku sedia tau apakah fungsi IT dalam setiap keperluan harian masyarakat. Namun, di Bawean, IT masih di peringkat awal perkembangan. Penataan pendidikan IT harus dijalankan dengan berhikmah karna masyarakat lebih cepat mengambil efek negatif dari efek positifnya, padahal efek positif menjanjikan kelestarian untuk semua hal dalam lingkungan.
----Where do I stand ?----
By practice, I have already stepped down from being the so-called ‘president of MBFC’, a simple idea shared with Sue, of gathering people from the same origin (Bawean of course). But, as what Hasan said, “You are a life-time president of MBFC no matter what”. I laughed out loud when he said that. But now, when MB still recognizes me with the same title, I think I shouldn’t laugh anymore. Nothing funny of being someone “publicly known” when I silently keep denying the “appreciation and hope” of some people who want me to be or to do something.I know what and where I’m heading, my dear people, and I’m not sitting still, though this time maybe I'm not doing it the way you like.
I started missing you now, Bawean……………. I’ll be back next year, Insya-Allah!
2 comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)