HOME   PUISI   JOURNAL   PHOTOS   THOUGHTS

Moving From Subjective Towards Objective

Yesterday was good, another day of me learning something new. The meeting with client went on just fine. There were few clarifications still on due, but something else more important had caught my interest.

During the meeting, we really had an open discussion. Everything was spontaneous and I was glad to have partners and team that are knowledgeable and deliberate over all requirements. Since this was final clarification on technical, the client had highlighted some new 'familiar' expectation. Chosen vendor must be willing to start the project for the first two months without any 'type' of failure, and if they can't, the client has all the right to say final good-bye. These two months is purposely to test on how well vendors can cope with human relationship matters between vendors’ operational people and the client operational people. In short, the CIO stated that they want these two months as a platform of moving from subjectivity towards objectivity.

As the CIO of one Government Link Company (GLC), he realises how human subjectivity can put a project into relatively high risk. No matter how good you are, if it is still subjective to human free interpretation, it will never be at any level of comfort ness to deliver the work and become successful.

The importance of being objective is clear. Objective helps us to aim and strive. Objective help us to focus strictly to what important, not bias towards any personal opinion/interest. So, it helps us to keep on track and run faster.

In contrast, being subjective is one good consideration of common human characteristics. To realise about this, subjectivity is important to re-evaluate our action from time to time, and be able to develop better quality of job towards creating new maturity level of our own. Subjectivity is important for healthy competency in an organization (should be).

In the end, what important still be the results. To be results oriented, we must know how to leverage our subjectiveness and objectiveness together along the way in any implementation we are on. This will keep us busy determining and setting up the optimum level of everything. Of course, that's the way it is!


2 comments  

Bersatu Teguh Bercerai Roboh

Banyak orang yang bersuara atas nama persatuan. Tidak kurang banyaknya orang yang sadar akan kepentingan bersatu. Kata mereka, dengan bersatu kita tambah kekuatan, dengan bersatu kita mampu mandiri, dan dengan bersatu kita bisa lebih maju. Sungguh tinggi cita-cita kita memandang jauh ke depan, mengharap kepada satu akhiran yang baik untuk semua orang. Tapi, justru cita-cita itu yang membuat kita terlepas pandang kenyataan bersatu itu harus seperti apa? Banyak yang menginginkan untuk bersatu tapi tetap tidak bisa, kenapa?

Coba kenal dulu bersatu itu apa artinya. Bersatu artinya "menjadi satu" dan tiada dua tiga dan seterusnya lagi. Itu saya kira definisi paling simple dan semua orang mudah untuk faham. Makin banyak variasi anggota, makin sulit proses menyatukan. Perbedaan kepentingan dan kepelbagaian ragam menjadikan proses bersatu itu sulit, tapi bukan tidak mungkin.

Perintah dalam al-Qur’an sangat banyak dan diulang-ulang menyuruh agar kita selalu bersatu, saling menyatukan dan jangan berpecah. Asy-Syuura:13 antara intinya menyebutkan ...An Aqiimuddiin, wa laa tatafarraqu fiih - - "tegakkanlah agama , dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya"... Barangkali anda juga pernah mendengar kisah sebatang lidi yang sangat mudah dipatahkan, tak sebanding 30 batang lidi yang tidak bisa dipatahkan bila ia disatukan. Malah, banyak kisah teladan lain yang menganjurkan agar manusia itu selalu bersatu demi kebaikan sejagat. Tapi, tetap juga ia cuma tinggal wacana kosong layaknya pohon tak berbuah.

Ada satu sikap/attitude yang sangat dibutuhkan dalam proses bersatu. Namun demikian, sikap ini paling tidak disukai oleh kebanyakan orang dan paling tidak banyak mendapat sambutan. Ini adalah karna sikap ini mengharuskan seseorang itu untuk meninggalkan ego dan emosional. Sikap ini nanti menuntut kebijakan psikologi dan kekuatan mental.

Sikap itu adalah TOLERANT, atau setelah dimelayukan menjadi toleran atau toleransi, yang bermaksud sikap menghargai pendirian/pendapat yang bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dalam persatuan, kita sudah punya cukup orang yang pandai, yang pintar, yang intelek (apa saja istilah satu arti yg anda suka). Tapi sayang, kita kurang kesadaran bahwa kita kekurangan orang bijak yang punya kekuatan mental untuk memaksimumkan hasil daripada apa yang kita miliki dengan cuma bermodalkan toleransi. Dengan toleransi, kita mengakui perbedaan orang lain, dan dengan perbedaan ini bisa memungkinkan orang bijak untuk mengambil kesempatan berkompetesi secara sehat, yang nantinya mampu menghasilkan kerja lebih bagus dan mapan. Bukankah ini yang kita tuju demi kemajuan?

[Al-Maidah:48 antaranya menyebut … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.….]

Justru, kita harus memandang jauh ke depan, tapi janganlah kita lupa untuk melihat kembali sumber-sumber di sekeliling kita dulu. Marilah kita sama-sama benahi arti sebenar bersatu agar kita bisa mendapat manfaat semaksimal mungkin dari apa yang kita sedia miliki. All the best!

4 comments  

Harapan Ungu II


menggapai bayangan sekilas
ternyata mengukir hampa
saat tersayat alunan mimpi
rasakanlah degupan
ungu yang mengharap

f14/160608/2:07AM

(Harapan Ungu I)

2 comments  

Haiku Handfonku

>> haiku 5 minit, sambil borak dgn Finaz, ;-)

sayang disayang
tangisi kehilangan
handfon ku hilang

hilang ke mana?
bukankah aku buang?
ke lubang jamban?

sengsara hidup
misi hilang separuh
rasakan pilu

perlukah aku
berkorban demi uang
beli sekupang?

FYI: haiku adalah seni tulisan berasal dari Jepun. Konsep penulisannya terdiri daripada rangkaian suku kata yang tetap bilangannya.. iaitu; 5,7,5.
--baris pertama 5 suku kata,
--baris kedua 7 suku kata,
--baris ketiga 5 suku kata.

0 comments  

Ancient Cendol

An apple a day keeps the doctor away...!!
huu..huuuii.. now i have a great routine to fill in my 'leisure' time after work. Cendol Time!!
This is a cendol mamak stall, located near as-syakirin mosque, DU, PJ. This stall has existed more than 20 years. He's the same mamak, at the same place, and serving the same fav cendol i often have after school last time. (Of course, to walk under the hot sun from TTDI to Kayu Ara, this mamak stall had always been a good pit stop for me).


This is the mamak cendol i had ysterday.. white pulut is a must for me.


Dear mamak, i'm no more the same student, i'm a working lady now, and i dont live nearby too. I know it has been more than 20 years .. and you are too synonym with this place already. It will never be the same without you here, (though your son is now helping and preparing to take over). May you have a happy life with all the wonderful people around you. Amin.


0 comments  

Diari Malam Minggu

Azan berkumandang pertanda masuknya waktu maghrib. Bapak-bapak dan pria lainnya sudah beransur-ansur menuju mushalla. Mushalla yang lebih ramai jemaah daripada biasa karna kehadiran para jemputan majlis do'a selamat sempena pernikahan sepupuku. Ibu-ibu masih melanjutkan kerja mereka di ruang memasak dan mengurus hidangan, saling bergantian menunaikan solat maghrib.

"Masih ujud tradisi gotong-royong di kota ini”, getus hatiku setelah menyaksi ramainya toghellanyang datang membantu. Kalau soal rewang oreng bhebian tak kan pernah tinggalkan tradisi yang satu ini. Tak kira saudara jauh atau dekat, pasti mereka datang untuk membantu.

”Solat di kamarku aja yuk..”, ajak Sila, adik perempuan si pengantin. Aku membuntutinya ke tingkat empat pangsapuri tempat tinggalnya. Ternyata ramai sekali yang menunggu lif untuk ke tingkat atas. Justru, aku menawarkan diri untuk naik tangga saja. Sepanjang menyusuri tangga ke tingkat empat, aku menahan nafas, mencoba untuk tidak menghidu bau yang kurang menyenangkan di situ. Aku sudah sangat maklum, selenggaraan pangsapuri di sekitar ini memang kurang sempurna. Tapi, masyarakat di sini tidak mampu memilih untuk punya kualiti hidup lebih baik. ”Sedangkan ulat bisa hidup di atas batu, inikan lagi manusia yang dikurniai akal”, jelas adik lelaki si pengantin setelah sama-sama diskusi keberadaan tempat tinggalnya. Sedikit keinsafan menyusup kalbuku mendengar luahannya itu.

Majlis nikah yang kuhadiri kali ini sedikit berlainan. Aku sendiri lebih aktif membantu di ruang dapur, tak seperti biasanya, cuma datang untuk makan. Maklumlah pernikahan sepupu sendiri, inginku sama-sama bergabung tenaga semampuku. Walaupun sangat sederhana, namun bagiku majlis ini sudah mencapai objektif untuk merapatkan kembali silaturrahim di kalangan saudara-saudara kami. Justru, aku merasa sangat terharu dengan keikhlasan yang mereka pamerkan sepanjang majlis ini berlangsung. Yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing.

”Malam ini kita jadi perawan dapur!”, Sila berseloroh. Kata-katanya kusambut dengan tawa sambil tanganku sibuk mengatur hidangan. Mulanya rasa sedikit janggal karna lama juga aku tidak ikut kumpul-kumpul di ruang masak untuk majlis yang begini. Tapi, justru perawan-perawan dapur ini nanti yang jadi heronya, yang tetap bertahan sampai semua kerja benar-benar tuntas.

Kedengaran di corong, suara lunak alunan berzanji. ”Enak juga suaranya..”, aku memuji dalam hati. Sememangnya oreng bhebian sangat lancar membaca dan mengalunkan lagu berzanji. Orang melayu tempatan juga kagum dengan kebolehan mereka yang satu ini. Bacaan berzanji tidak pernah ditinggalkan dalam setiap majlis selametan, biarpun cuma sempat membaca serangkap pembuka dan penutup saja, tapi tetap tidak ditinggalkan. Namun, tidak semua orang senang dengan tradisi ini. Terutama kalau diadakan kercengan. Ada penduduk setempat yang tidak suka kebisingan dan sangat jengkel dengan bunyi-bunyian di waktu malam. Demi untuk kepentingan bersama, biasanya acara-acara begini diharuskan selesai sebelum jam 11 malam.

Hidangan sudah hampir siap diatur. Tinggal tunggu jemputan siap ashrokalan dan pembacaan do’a. Ibu-ibu pula sudah mulai duduk berkelompok sambil berbual-bual. Maklum saja, kesempatan bertemu seperti ini mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk bertanya kabar dan bercerita kisah hidup masing-masing. ”Tapi awas, jangan dekat!”, aku mengingatkan diriku sendiri seraya tertawa kecil. Aku cukup tau mereka paling suka bertanya soal kawin...hehe.. Tapi kadang tetap tak bisa mengelak.

”Hmm, andai saja kita saling berbesan, kan bagus? Jadi, hubungan saudara tak hilang jauh”, nenek saudaraku yang dulu sangat dekat dengan ibu membuka cerita. ”Kawin sama cucuku saja, mau nak?!”, bahuku diusap lembut sambil bibirnya mengukir senyum. Aku seperti biasa menampakkan barisan gigi yang putih seraya membalas, ”Nenek usah terlalu mikir masalah orang muda... Yang penting, nenek sehat terus dan semangat, ya!”. Aku bingkas bangun meniggalkan kumpulan itu setelah permisi dengan beralasan masih banyak yang perlu dikerjakan.

Malam itu sangat meletihkan. Tenagaku terkuras habis sampailah waktu mencuci piring dan semua alatan. Untung saja ramai yang bantu, karna jemputan yang hadir pun tak kurang banyaknya. Malam itu aku leppang tapi puas, karna malam mingguku terisi dengan satu lagi aktivitas baru, paling tidak, sesuatu yang lain dari rutin harianku. Oreng bhebian, ternyata masih tetap wujud kemuafakatan dan kerjasama yang utuh antara kalian. Semoga ini berkekalan..”, do’a hatiku ikhlas..

0 comments